Melihat Noda Hitam di Timor Barat

SEJAK referendum Timor Timur tahun 1999, wilayah perbatasan Indonesia–Timor Leste menyimpan trauma historis. Ribuan pengungsi eks Timor-Timur saat itu, memilih menetap di Kabupaten Belu dan daratan Timor barat. Pemerintah dinilai gagal melakukan integrasi sosial-ekonomi secara menyeluruh. Akibatnya, banyak keluarga hidup tanpa dokumen, tanpa pekerjaan tetap, dan rentan tereksploitasi dalam aktivitas ilegal lintas batas. Sebab, di balik bendera dan pos lintas batas yang gagah, tersimpan kisah getir: kemiskinan, penyelundupan, perdagangan gelap, dan lemahnya kedaulatan ekonomi. Fenomena ini menjadi noda hitam di wajah Timor Barat, yang seharusnya menjadi gerbang martabat bangsa. 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Belu, 2024, tingkat kemiskinan di kabupaten perbatasan mencapai 22,13%, jauh di atas rata-rata nasional 9,3%. Pendapatan per kapita warga di daerah ini bahkan kurang dari Rp1,2 juta per bulan. Di tengah keterbatasan ekonomi, muncul industri bayangan yang terus hidup: penyelundupan pakaian bekas, BBM, rokok, hingga hewan ternak. Fenomena tersebut memperlihatkan kegagalan negara dalam mengatur dan menyejahterakan warganya di garis depan. Seperti dikatakan Prof. Ariel Heryanto (2003), negara kerap hadir di perbatasan hanya sebagai simbol kekuasaan-- bukan pelindung rakyatnya. Di Timor Barat, simbol itu menjadi retak.

Data dari BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan) menunjukkan bahwa dari 84 titik jalur tikus di sepanjang garis batas, hanya 23 titik yang dijaga secara aktif oleh aparat gabungan TNI–Polri. Celah ini menciptakan ruang bagi aktivitas ilegal: penyelundupan bahan bakar minyak, kendaraan dan lain-lain dari Indonesia ke Timor Leste. Begitu pun sebaliknya. Pengamat keamanan wilayah perbatasan, Dr. Ikrar Nusa Bhakti (LIPI), menyebut bahwa kondisi ini mencerminkan lemahnya “kehadiran negara dalam aspek kesejahteraan.” Negara hadir dengan seragam, bukan dengan solusi. Pasar perbatasan seperti Pasar Wini, Turiskain, dan Motaain menjadi episentrum ekonomi bayangan. Aktivitas penyelundupan bukan semata tindakan kriminal, tetapi juga bentuk adaptasi sosial terhadap kemiskinan. Warga lokal menggantungkan hidup dari aktivitas jual beli lintas batas, termasuk pakaian bekas impor, minyak tanah, dan daging sapi.

Menurut laporan Kementerian Keuangan (2023), potensi kerugian negara akibat penyelundupan di perbatasan Timor Barat mencapai Rp150 miliar per tahun, terutama dari barang konsumsi tanpa cukai. Sementara itu, Ditjen Bea Cukai Kupang menyebut telah menangkap lebih dari 400 kasus penyelundupan kecil-menengah dalam tiga tahun terakhir-- tetapi aktivitas itu tak kunjung berhenti. Kondisi ini diperburuk oleh lemahnya alternatif ekonomi legal. Program pemerintah seperti Desa Mandiri Perbatasan sering kali hanya berhenti di pelatihan, tanpa keberlanjutan usaha. Dalam istilah James C. Scott (1985), rakyat di perbatasan mengembangkan “moral ekonomi bertahan hidup”-- melanggar hukum negara demi hukum kehidupan. 

Kekuasaan lokal sering menjadi bagian dari masalah, bukan solusi. Di beberapa kabupaten perbatasan, aparat desa dan oknum pejabat terlibat dalam jaringan penyelundupan. Laporan Tempo (2022) mengungkap keterlibatan oknum ASN dan TNI dalam penyelundupan BBM bersubsidi ke Timor Leste melalui jalur laut kecil. Sosiolog politik Prof. Cornelis Lay (Universitas Gadjah Mada) menjelaskan bahwa kekuasaan lokal di perbatasan cenderung membentuk oligarki mikro: “Mereka memonopoli akses terhadap proyek, izin, dan bahkan barang ilegal, sambil menjual narasi nasionalisme.” Di bawah slogan cinta NKRI, banyak kekuatan lokal justru menumpuk keuntungan pribadi. Masalah ini memperlihatkan paradoks pembangunan: perbatasan dijadikan panggung politik dan proyek citra nasionalisme, tetapi rakyatnya tetap hidup di pinggiran ekonomi dan hukum.

Selain penyelundupan barang, Timor Barat juga menjadi jalur perdagangan manusia. Data BP2MI (2023) menunjukkan, lebih dari 700 kasus pengiriman ilegal tenaga kerja ke Timor Leste terungkap dalam dua tahun terakhir, mayoritas perempuan muda dari Belu dan Malaka. Mereka dijanjikan pekerjaan domestik, tetapi banyak berakhir dalam eksploitasi. Kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah perbatasan meningkat signifikan. Laporan Komnas Perempuan (2022) mencatat NTT sebagai provinsi dengan tingkat kekerasan berbasis gender tertinggi di Indonesia Timur. Faktor ekonomi, pendidikan rendah, dan lemahnya perlindungan hukum menjadi kombinasi mematikan. Di sini, batas negara bukan hanya garis di peta, tapi juga batas kemanusiaan. Seperti dikatakan Judith Butler (2004), negara kerap menentukan siapa yang layak hidup dan siapa yang boleh mati-- dan di Timor Barat, banyak warga tak diakui dalam kedua kategori.

Secara geopolitik, wilayah Atambua adalah titik rawan. Patroli perbatasan sering kali menghadapi konflik kecil dengan warga atau aparat Timor Leste akibat perbedaan penafsiran garis batas. BNPP (2024) melaporkan sedikitnya 21 insiden pergesekan perbatasan sepanjang 2021-2023. Selain itu, aktivitas intelijen asing dan perdagangan senjata kecil pernah terdeteksi di jalur tak resmi. TNI Korem 161/Wira Sakti mencatat peningkatan penyelundupan senjata ringan selama 2020-2022. Semua ini menunjukkan bahwa lemahnya kontrol negara di wilayah ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga ancaman strategis terhadap kedaulatan nasional.

Dalam teori “Weak State Syndrome” (Joel Migdal, 1988), negara gagal menegakkan kontrol sosial dan ekonomi di wilayah pinggiran karena struktur birokrasi yang terkooptasi oleh elite lokal. Kasus Timor Barat menjadi contoh nyata: negara hadir dalam simbol dan proyek, tetapi absen dalam pelayanan dasar. Negara juga gagal menjalankan fungsi Weberian-- yakni monopoli kekerasan dan hukum. Akibatnya, hukum negara bersaing dengan “hukum adat ekonomi” warga perbatasan. Ini melahirkan gray zone di mana legalitas dan ilegalitas berbaur, dan semua orang “sedikit bersalah” demi bertahan hidup.

Warga Atambua sering menyebut penyelundupan sebagai “jalan rezeki.” Seorang pedagang perempuan di Pasar Motaain (dalam wawancara lapangan Kompas, 2023) mengatakan: “Kalau tidak jual pakaian bekas dari Timor, kami mau makan apa? Pemerintah tidak kasih modal, tidak ada kerja.” Sementara aparat lokal mengaku kewalahan. Seorang anggota Satgas Pamtas menyebut, “Kami jaga pos, tapi jalur tikus terlalu banyak. Kadang masyarakat lebih tahu medan daripada kami.” Suara-suara ini menggambarkan dilema klasik: ketika hukum bertabrakan dengan kebutuhan hidup, moralitas menjadi relatif.

Untuk menghapus noda hitam di Timor Barat, perlu langkah lintas sektor dan lintas batas, yaitu: Pertama, Revitalisasi Ekonomi Perbatasan. Pemerintah harus mengubah paradigma pembangunan dari simbolik ke produktif; Dirikan zona ekonomi perbatasan berbasis pertanian dan industri kecil; Fasilitasi koperasi lintas batas yang legal dan diawasi negara. Kedua, Reformasi Aparat dan Pengawasan Terpadu. Terapkan rotasi rutin aparat perbatasan untuk memutus jejaring ekonomi gelap; Gunakan teknologi pemantauan drone dan AI untuk patroli jalur tikus; dan Libatkan masyarakat lokal sebagai “agen pengawas warga.” Ketiga, Kerja Sama Indonesia–Timor Leste. Bentuk Joint Border Taskforce dengan mandat ekonomi dan sosial, bukan hanya keamanan; Harmonisasi kebijakan perdagangan kecil agar aktivitas warga tidak selalu dikriminalisasi. Keempat, Pendidikan dan Literasi Ekonomi. Kembangkan sekolah vokasi perbatasan yang berfokus pada keterampilan kewirausahaan. Dorong lembaga keagamaan dan adat untuk berperan dalam advokasi sosial. Kelima, Penegakan Hukum Humanis. Hentikan kriminalisasi terhadap warga miskin pelintas batas; Tegakkan hukum secara tegas pada pelaku besar dan oknum aparat yang melindungi penyelundupan.

Timor Barat seharusnya menjadi jendela kehormatan Indonesia di mata dunia. Namun hingga kini, ia masih menjadi ruang abu-abu-- tempat negara kuat di atas kertas, tapi rapuh di lapangan. Noda hitam di perbatasan ini adalah cermin kegagalan kita memaknai kedaulatan secara manusiawi. Sebagaimana dikatakan Benedict Anderson, bangsa adalah “komunitas terbayang.” Maka, tugas kita bukan hanya menjaga garis di peta, tapi juga memastikan bahwa di setiap jengkal perbatasan, warga merasa menjadi bagian dari Indonesia-- bukan sekadar penjaga bendera di ujung negeri. (*) 

OPINI ditulis oleh: *Felixianus Ali, warga asli Belu, NTT.

Bagikan
Tinggalkan komentar
Berita Terkait